Jumat, 16 November 2012

Hidangan Makan Malamku


Hidangan Makan Malamku

(Ibrahim, M.Pd.)


Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta.
Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan.


Kamis, 15 November 2012

Pekerjaan yang mulia


PEKERJAAN YANG MULIA
Cerpen Nieya


“tasya...bangun sayang nanti telat lo kesekolahnya ayo tasya bangun dong” kata ibu yang mencoba membangunkanku
“iya ibu tasya yang cantik” aku terbangun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi
Aku menghampiri ayah dan ibu dimeja makan. Kita sarapan dengan roti bakar selai coklat buatan ibu. Setiap hari aku berangkat ke sekolah bersama ayah dengan mobilnya dan pulangnya naik angkot yang searah dengan jalan rumah. Ayah bekerja disebuah kantor yang bergerak dibidang penyuplai barang-barang onderdil mobil.

Bel berbunyi tanda masuk kelas. Palajaran pertama kelas 2 smp yang sekarang menjadi tempatku mencari ilmu adalah bahasa indonesia. Bu riska yang mengajarkan pelajaran ini sedang berhalangan hadir dan memberika tugas kepada kami leawt pak rio wali kelas kami. Tugas membuat deskripsi tentang pekerjaan yang dianggap mulia. Satu pekerjaan yang mulia kemudian dideskripsikan kenapa pekerjaan itu mulia.
“paham tentang tugas yang diberika bu riska” kata pak rio
“paham pak” sahut semua anak dikelasku
“baik tugas itu dikumpulkan minggu depan”
“Baik pak”

Aku bersama kedua teman q naya dan raka bediskusi tentang tugas yang diberikan buriska. Aku dan naya duduk berdampingan sedangkan raka duduk bersama temannya tepat dibalakang kita. Kami sudah berteman sejak kelas 1 dan dipertemukan kembali dalam 1 kelas di kelsa 2 ini. Kami masih bingung tentang pekerjaan apa yang mulia yang ada dilingkungan kita. Semua anak juga masih mediskusikan tugas dari buriska.
“mudah sih hanya deskripsi, tapi maslahnya pekerjaan apa yang mulia” kata naya memulai pembucaraan
“itu dia masalahnya” sahutku
“aha aku tahu mungkin seperti inipekerjaan itu dapat meguntungkan semua orang”

Menguntungkan semua orang” tanyaku dan naya bersamaan
“seperti halnya pilot yang membawa pesawat terbang dengan hati-hati agar penumpang sampai tujuan atau gak dokter yang dapat mendiaknosis pasien itu kan pekerjaan yang mulia” jelas raka
“sepertinya begitu...kalo begitu aku pilot aj deh” kata naya
“Kalo aku dokter dah” kata raka
“la terus aku apa ding” tanyaku polos denga jari telunjuk mengarah kewajahku
“hmhmhm...kita pikirkan lagi”

Kita masih berdiskusi tentang tugas pekerjaan yang mulia. Naya dan raka sudah mendapatkanb. Aku masih belum mendapatkanny sampai jam sekolah berakhir. Sampai dirumah pun aku masih belum mendapatkan pekerjaan yang mulia. Tapi aku mencoba untuk untuk membuang semua pikiran itu dan mengerjakan tugas lainnya yang dikumpulkan besok.
Malam ini ayah dan ibu sedang keluar untuk menghadiri acara pernikahan teman ayah. Aku sendirian dirumah. Ibu mengajakku namun karena tugas yang banya jadi aku putuskan untuk tinggal dirumah. Aku mengerjakan tugas dikamar yang dekat dengan jalan. Kamarku berada disamping ruang tamu dan dapat mendengarkan suasana jalan yang sepi maupun ramai. Malam yang kian larut, aku memutuskan untuk tidur. Ayah dan ibu belum kunjung datang. Aku mendengar suara berisik di luar. Aku melihat dari celah jendela. Ada orang di luar sedang membawa gerobak dan mengangkat sesuatu yang ada di luar. Entah apa itu aku kurang tahu. Orang yang membawa barang itupun kurang tahu bapak atau ibu. Malam itu sangat gelap karena lampu teras di rumah sedang mati. Aku melihat jam dinding berdetik pada angka 1 malam. Aku kembali untuk tidur, mungkin hanya orang yang lewat aja pikirku.
Pagi yang cerah membangunkanku dalam mimpi tidur yang indah. Aku bersiap-siap untuk memulai aktifitas pagi ini. Seperti biasa ayah dan ibu menunggu di ruang makan. Ayah dan ibu meminta maaf karena pulang terlalu malam.
Kelasku sudah terisi oleh anak-anak. Naya dan raka menyapaku saat melihat aku masuk kelas. Mereka belum mendapatkan jawaban dari tugas bu riska untukku. Tetapi aku biarkan mereka untuk tidak memikirkan lagi dan biarkan nanti terjawab dengan sendirinya.
Pulang sekolah aku langsung menuju supermarket dekat rumah. Untuk membeli pesanan ibu saat aku berangkat sekolah tadi. Ibu menyuruhku membeli mie rebus dan gula. Aku menyerahkan telur dan mie rebus kekasir. Mbak yang bertugas menjaga kasir menghitung belanjaan yang aku beli ke komputernya. Memasukan belanjaanku ke dalam kantong plastik dan memberikan kepadaku. Saat aku keluar dari supermarket tali dari kantong plastik itu sobek dan menjatuhkan semua belanjaan ke lanyai. Aku meminta kembali kantong plastik ke mbak tadi dan memasukan kembali gula dan mie rebus serta meninggalkan kantong palstik yang putus tadi aku tinggalkan begitu saja. Ada ibu-ibu yang mengambil kantong plastik tersebut dan memasukan ke gerobak yang dibawanya.

Aku melihat ibu tadi dari beliau berjalan di depanku sampai menjauhiku. Kemudian aku pulang kerumah dan meyerahkan belanjaan pada ibu. Ingin sekali aku bercerita tentang tadi malam tapi aku mengurungkan niatku saat melihat ibu sangat sibuk denagan kerjaan sebagai ibu rumah tangga.
Malam ini seusai mengerjakan tugas, aku sejenak merebahkan tubuh ke ranjang yang selalu menemaniku tidur. Berfikir pekerjaan pa yang mulia dan dapat menguntungkan orang dari pekerjaannya. Aku memikirkan sampai tertidur pulas. Suara berisik itu menggangguku lagimalam ini. Aku terbangun dan malihat apa orang itu lewat lagi dari balik jendela. Ternyata orang itu kembali lagi. Ibu-ibu yang aku lihat di supermarket tadi siang adalah ibu yang sama dengan orang yang lewat didepan rumahku. Aku menuju keluar rumah untuk menemui ibu tadi. Namun ibu tadi sudah menghilang. Aku melihat di depan rumah hanya ada bak tempat sampah yang tertutup. “apa yang abu tadi ambil” batin ku

Pagi ini aku ingin bercerita pada ayah dan ibu, tapi ayah dan ibu sedang tidak berada dirumah. Ada pesan singkat yang ditulis oleh mereka yang diletakkan di ruang makan. Sekolah hari ini begitu tak menarik bagiku, pikiranku sekarang terisi oleh ibu itu.
“kenapa sih daru tadi nelamun terus” tanya naya kemudian
“huh....emang seperti orang yang ngelamun ya” jawabku bertanya balik
“tasya...udah deh jangan balik nanya deh. Ada apa cerita dong kekita” kat raka
“gak ada apa-apa kok”
“apa masih mikirin tugas dari bu riska” kata raka
“gak...kan masih lma juga tugasnya”
Malam ini entah kenapa aku sengaja menunggu ibu-ibu yang biasa lewat depan rumah itu datang. Pikul 11 malam sudah mulai berdetik, tapi ibu itu tidak kunjung datang. Tiga jam aku menunggu sampai mata tidak sanggup lagi untuk bertahan.

Sudah 3 hari ini aku menunggu ibu itu tiap malam dan juga menunggunya didepan supermarket. Namun tak pernah aku lihat lagi ibu itu lewat rumah atau supermarket.
“sampah begitu banyak, baunya sudah mulai menyengat kata ibu saat melihat sampah dibak mulai menumpuk
“biasanyakan gak pernah numpuk bu” kataku yang sedang libur sekolah
“maka dari iru sayang”

Aku dan ibu kembali kedalam setelah selai bersih-bersih teras rumah. Hari ini aku dan ayah free dari rutunitas. Aku kembali lagi ke supermarket untyk menunggu ibu itu datang. Sudah 3 jam aku menunggu kedatangan ibu itu. Haripun semakin siang. Ibu dan ayak pasti mencariku batinku. Aku melangkahkan kakiku untyk kembali pulang. Namun aku mendengar suara gesekan kanyong plastik dibelakangku. Anak perempuan kecil dengan usia kira-kira 10 tahun itu memunguti sampah-sampah yang terletak di luar suoermarket.
“adek....apa yang kamu lakukan” kataku menghampirinya
“aku sedang membersihkan sampah-sampah ini kak” kata dia
“gerobak itu punyamu” tanyaku saat melihat gerobak yang sama seperti ibu itu
“ini punya ibu aku kak...tiap hari memang ibu yang membawa geronak ini pa kakak kenal dengan ibu aku” tanyanya
“eehm...boleh gak kakak ikut kamu”
“ikut aku....tapi aku mau pulang kak kan kerjaan aku hampir selesai”
“ya.....kaka mau ikut kamu pulang bolehkan...nama kamu sapa” tawarku lagi
“boleh...aku ratih”
“tasya”
Aku membatunya medorong gerobaknya dari belakang agra bebannya lebih ringan. Tiap perjalanan pulang ratih selalu mengambil sampah entah itu di bawah maupun di bak sampah depan rumah.

Kitapun sampai rumahnya. Rumah yang begitu kecil dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Ratih menyuruhku untuk masuk. Aku diantarnya pada sebuah kamar yang terdapat ibu yang sbeberapa hari ini aku cari tergelatak tak berdaya.
“assalamuallaikum....ibu sayang” sapa ratih pada ibu itu
“wallaikumsalam”
“oh ya bu kenalkan ini kak tasya...tadi ratih ketemu disupermarket yang biasanya kita bersihkan sampahnya bu dan kak tasya ikut ratih pulang”
“maaf bu bila tasya terlalu lancang untyk ikut ratih pulang” kataku
“gak papakok neng tasya...maaf kalo rumahnya kecil” ibu merendahkan diri
“eehm...maaf kalo tasya terlalu banyak tanya tapi tasya ingin tahu apa yang ibu lakukan tiap malam lewat depan rumah tasya dan rumah-rumah yang lain serta kalo siang tasya juga sring lihat ibu mengambil samapah di depan supermarket” jelasku
“ibu setiap hari bekerja untuk membersihkan sampah tiap rumah yang ada dikompleks rumah neng tasya dan juga supermarket....sudah beberapa hari ini ibu lagi sakit jadi maaf ya mungkin samapahnya sudah mulai menumpuk dan bau ya”
“kenapa malam sekali bu?”
“kalo pagi ibu harus tinggal di rumah untuk menjaga rumah sekalian istirahat juga dan setelah ratih pulang sekolah ibu baru membersihkan sampah yang ada di sekitar supermarket dan rumah-rumah disekitar itu....sorenya ibu istirahat karena ratih kecil-kecil gini cerewetnya minta ampun makanya baru malam hari ibu dapat memebersihkan sampah di kompleks rumah neng tasya”
“jadi ibu bekerja sebagai pembersih sampah”
“iya...kak tasya” kata ratih
“pekerjaan ibu benar-benar mulia dan tasya sebagai orang yang rumahnya ikut ibu bersihkan sangat berterimakasih sama ibu dan juga ratih karena dari pekerjaan ibu semua samapah menjadi bersih”
“sama-sama” jawab ibu dan ratih bersamaan
“eehm...kalo begitu tasya permisi dulu” pamitku

Pagi ini dengan persaang yang bahagia aku siap untuk mempresentasikan tugas dari bu riska. Giliranku telah tiba untuk mempresentasikan tugasku.
“pekerjaan ini selalu da ditiap-tiap rumah, pekerjaan itu mengambil serta membersihkan sampah-sampah yang ada di luar. Tanpa pekerjaan itu sampah-sampah akan menumpuk dan baunya akan menyengat hidung kita dan pekerjaan yang mulia bagi saya adalah pekerjaan pembersih samaph”
Semua anak bertepuk tangan setelah mendengarkan presentasiku tadi. Naya dan rakapun terlihat sangatbangga dengan apa yang aku lakukan.

Semua pekerjaan apapun itu asal halal dan dapat membahagiakan semua orang adalah pekerjaan yang sangat membanggakan. Bukan hanya uang yang didapat juga keberkahannya
(21 maret 2012)

PROFIL PENULIS
Ratna Budi Kurniasari nama panjangku dan cukup dipanggil Nieya dibaca Nia....13 juli 1989 tanggal lahirku...aku lahir dikota tercinta aku Lamongan Jawa Timur...Nieya Jewel Yukasteverstic nama facebook q...@nieeyaa twiteer q

sumber : http://www.lokerseni.web.id